MPO2888 -Jurnaling di Pulau Pramuka

Akhir pekan kemarin kantorku mengadakan acara outing untuk seluruh stafnya. Bila tahun lalu kami pergi berkemah ke hutan pinus dan aku yang jadi ketuanya, kali ini kami pergi ke Kepulauan Seribu dan aku cuma jadi peserta. 

Meskipun jaraknya cuma 50-an kilometer dari garis pantai, dan masih masuk provinsi DKI, tapi aku baru kali pertama bertandang ke pulau-pulau kecil di lepas pantai Jakarta. 

Inilah sekelumit ceritaku berdasarkan apa yang kualami, yang kucatatkan dalam buku jurnalku.

Jumat 22 November 2024
12:49 WIB

Aku duduk sendirian di pelabuhan depan hotel. Langit terang dengan sedikit awan menggantung. Tidak ada angin sepoi-sepoi. Seharusnya hari ini aku antusias, tapi entah mengapa, sedari berangkat pagi-pagi tadi, aku merasa biasa saja, bahkan cenderung tidak kerasan. 

Kapalku berangkat dari dermaga 16 Marina Ancol, berjenis speed-boat yang ukurannya lebih mungil dibandingkan fery. Namun, karena lebih kecil, ia jadi lebih lincah. Kulihat pada layar kemudi di depan nakhoda, kecepatan maksimumnya bisa mencapai 44 knot. Sebelum berangkat, aku sempat terkecoh kena usil dari Ko Djohan. Dia bilang di mini-market seberang dermaga penjualnya cantik. Karena suntuk, kudatangilah toko itu, siapa tahu bisa membuat mata segar. Kuajak serta Joshua. 

Tapi, memang benarlah kata orang tua dulu: “jangan gampang percaya orang”. Boro-boro cantik, yang kutemui adalah seorang wanita tua dan judes. Bibirnya melengkung ke bawah, tatapannya sinis, dan harga dagangannya selangit! Ditanya harga, dijawabnya singkat tanpa melihat kepada yang tanya. “Yang ini gak jadi,” kata Joshua saat tahu harga sebungkus sukro 200% lebih mahal dari harga normal. 

Setelah turun dari kapal, sebenarnya sempat terbit rasa senang. Aku suka petualangan dan pantai. Laut yang jernih dan pulau yang jauh dari keramaian harusnya sudah lebih dari cukup untukku senang. Tapi, ketika kulihat gang-gang di pulau ini, hatiku membatin: “Kok kayak di Cengkareng ya? Tapi, ini versi lebih bersih, rapi, dan ada lautnya aja.” 

Aku berusaha maklum. Pulau Pramuka adalah pusat pemerintahan dari Kabupaten Kepulauan Seribu yang masih bagian dari provinsi DKI Jakarta. Meskipun terpisah dari daratan utama, rupanya tidak meniadakan ke-’khas’an Jakarta sepenuhnya. Tukang gorengan, cilok, es krim, telor gulung, semua ada di sini, dengan penjualnya yang berlogat khas Jakarta. Ada kutemui seorang penjual basreng yang rupanya orang Bogor, lalu kami bercakap ringan dalam bahasa Sunda. 

Pulau ini tidak salah. Aku cuma perlu mengatur ekspektasi. Kendurkan dulu imaji bahwa pulau kecil di tengah lautan harus se-sepi dan se-indah pulau Weh di Aceh yang dulu kusambangi. Atau, harus tampak jelas perbedaan budayanya seperti di Bali. Biarkan pulau Pramuka menjadi dirinya sendiri dengan identias ke-Jakarta-annya yang melekat. Dan, aku, latihlah diriku untuk menerima kenyataan tanpa berusaha mengubahnya. Bukan berarti aku jadi orang yang kalah dan menyerah, tapi pada kasus-kasus tertentu, bukankah menerima keadaan adalah sedikit buah dari kebijaksanaan? 

Kondisi penginapanku pun berkontribusi pada melempemnya semangat. Saat teman-temanku mendapatkan kamar yang terang dan bersih, tembok kamarku berjamur. Lantainya anyep. Langit-langitnya lembab dan pencahayaannya redup. Ditambah lagi, aku terpisah dari rekan-rekan satu ‘geng’ku. Sedikit banyak, aku merasa terasingkan sendirian. Padahal, imajiku bila pergi berlibur adalah waktu-waktu berkualitas dengan para sahabat, di mana kami bisa melakukan pembicaraan mendalam sampai jam dua pagi. 

Belum selesai aku bersedih karena kamar, kudengar keluhan-keluhan dari yang lain. Ah, inilah risiko pergi beramai-ramai karena semua orang punya keinginan masing-masing. Ada yang sanggup dan berbesar hati mengalah demi kebaikan yang lebih besar, ada yang berjuang mempertahankan keinginannya. Tugasku sekarang adalah mengalihkan fokus dari situ kepada air lautan yang jernih. 

Menikmati pantai yang tenang

23:30

Hari hampir berlalu. Selama satu jam aku ditemani Michael melakukan deep talk di pinggir pantai dan ini adalah hal yang kusyukuri. Meskipun aku masih terasa ‘terasing’, aku tidak kehilangan koneksi, tidak cuma datang haha-hihi lalu pulang. Aku belajar lagi untuk merengkuh kesendirian tanpa harus memaksa orang lain datang menghampiriku. Biarkan mereka menikmati Pulau Pramuka dengan cara yang menyenangkan hati mereka sendiri. 

Rasa sedihku tidak hilang, tetapi sempat luntur waktu kami pergi snorkeling ke area terumbu karang dan berenang di gosong pasir. 

Kami menaiki kapal kayu selama tiga puluh menit sekali jalan, melewati sejenis selat sempit di antara dua pulau kosong tak berpenghuni. Airnya hijau toska. Tapi, tak jauh dari situ, kapal melego jangkar. Kami turun ke pantai di tengah lautan, yang dalam istilah geografi disebut gosong pasir. Airnya sejernih air botolan. Hangat. Asin. Nyaman sekali! Teman-temanku yang nyemplung pun ikut senang. Aku merasakan emosi positif itu menular juga kepadaku. 

Setidaknya alam selalu jadi obat pemanis hati. Ketika badanku basah dan terkotori pasir, di situlah aku merasa terhubung dengan jati diriku: seorang petualang yang mendamba lahir pada dimensi lain. 

Sekarang aku harus paksa diriku tidur.

Hari ini akan berlalu. Aku memohon sekiranya Tuhanku yang kupanggil sebagai Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus, Sang Trinitas yang Esa, mengaruniakanku sukacita alih-alih keterasingan. 

Tabik. 

Teman-temanku yang anti-gosong. Mereka menjadikan outing kali ini menyenangkan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *