MPO2888 -Sabtu Pagi di Kerkhof: Menengok Sepasang Sahabat

“Mas,” kata Gara. Dia menatap betisku. “Kamu nggak gatel, apa?” 

Aku yang sedang anteng mengusap obelisk milik Ary Prins jadi tersadar.

“Waduh,” sahutku. Tangan kananku segera menggampar dua betisku. Plakk! Darah segar mengotori telapak tangan. Aku tidak sedang melakukan ritual perdukunan, tetapi nyamuk di kuburan Belanda ini memang jauh dari saleh. Mereka mengerubung seperti lebah. Sialnya, aku memakai celana pendek dan tidak juga mengoles losion anti nyamuk.

“Udahlah gapapa, itung-itung aku donor darah,” selorohku kepada Gara. 

Kami melanjutkan aktivitas kami. Gara mencari-cari makam milik anak Gubernur Jenderal, sedangkan aku menyambangi sebuah makam yang lokasinya ada di tengah. Makam ini bentuknya tidak menonjol dibandingkan makam-makam lain di Kerkoff Kebun Raya Bogor yang lebih megah seperti obelisk mirik Ary Prins, sang Gubernur Jenderal sementara yang tak pernah jadi Gubernur Jenderal sungguhan. Bentuknya kotak dengan satu tiang terpancang di atasnya. Teks pada prasastinya masih terbaca jelas kendati di pucuk-pucuknya sudah ditumbuhi lumut. 

M.S Henrici Kuhl, Hanovia
&
Joh. Corn. van Hasselt
Med. DD

Ada dua nama yang tertulis di sini: Kuhl dan van Hasselt. Siapa gerangan mereka? Agaknya meskipun dimakamkan di pekuburan bersejarah, buku-buku pelajaran sejarah tidak memuat ceritera tentang mereka. Aku mengenal sedikit dua nama ini dari penelusuran Google, bahwa mereka adalah dua sahabat yang meninggal di Jawa pada masa ketika penjelajahan flora dan fauna sedang gencar dilakukan di koloni seberang lautan. Selebihnya, aku tak tahu. 

Tiba-tiba Gara berdiri di belakangku, “Aku ada e-book tentang dua orang ini, Mas.”

“Loh! Aku mau!” responsku segera. 

Dikirimlah buku itu melalui WhatsApp. Aku menepi sejenak, duduk di atas kursi yang dinaungi pohon-pohon bambu. Kubaca pelan-pelan buku digital ini:

Inseparable Friends in Life and Death

Buku digital tentang Kuhl dan van Hasselt. Dapat diunduh secara gratis dari pepustakaan daring Univ. Groningen. Berikut linknya: https://books.ugp.rug.nl/ugp/catalog/book/53

Itu judulnya. Menggetarkan. Persahabatan selalu jadi kisah manis yang menyentuh hati manusia. Apalagi bila persahabatannya berlangsung sampai ajal! Kubaca santai buku itu lalu setelahnya kuunggahlah sampulnya di cerita Instagramku. 

Ada dua teman yang merespons dengan pertanyaan yang di luar ekspektasiku. “Jadi, mereka itu homoseksual, ya?” 

Waduh, ketikku. Kok bisa mikir sampai ke situ?

***

Buku Inseparable Friends in Life and Death lebih banyak menyatatkan tentang sepak-terjang Kuhl dan van Hasselt, dua orang ahli Biologi muda berbakat yang berjasa besar bagi perkembangan ilmu-pengetahuan tentang flora dan fauna. Ada sedikit bagian tentang perjalanan hidup mereka yang dinarasikan dengan ringkas; tentang siapa asal usul mereka dan bagaimana petualangan mereka di Jawa dimulai. 

Kuhl dan van Hasselt dikirim ke Jawa pada tahun 1820. Awal abad-19 adalah babak pembuka dari perkembangan ilmu pengetahuan tentang dunia tropis. Tanah jajahan, khususnya Jawa saat itu belum banyak dieksplorasi. Jalur kereta api belum terbangun. Perkebunan komoditas seperti teh dan kina baru mulai dikembangkan. Jawa yang kini sesak dan modern dulu adalah belantara tropis yang mematikan bagi orang-orang Eropa. Pelayaran dari Belanda sampai ke Jawa memakan waktu enam bulan. 

Mari kita tegaskan lagi: enam bulan, di atas kapal bertenaga angin! Ini durasi yang sangat lama. Tidak ada on-cruise entertainment atau pun sinyal Internet. Dalam perspektif abad 21, pelayaran Kuhl dan van Hasselt adalah perjalanan yang amat lama, membosankan, dan.. berbahaya! Bahaya tidak cuma ada saat di atas laut, tapi begitu tiba di Jawa, tubuh orang Eropa yang hidup di iklim sub-tropis harus berjibaku dengan iklim tropis yang lembab yang merupakan habitat subur bagi nyamuk-nyamuk. Ingat juga: obat malaria belum ditemukan saat itu.  

Nyamuk yang berhasil kubinasakan. Bila aku hidup sezaman dengan Kuhl, bisa jadi akulah yang dibinasakan oleh gigitan seekor nyamuk kecil ini.

Empat bulan setelah kedatangan di Jawa, mereka berdua siap untuk menjelajah Bantam (sekarang: Banten). Tapi, karena terjadi wabah kolera, mereka berganti tujuan ke gunung-gunung di selatan Buitenzorg (sekarang: Bogor). Bulan Mei, Juni, dan Juli tahun 1821, keduanya mendaki Salak, Gede, dan Pangrango. Ada 83 spesies reptil dan amfibi yang mereka berhasil kumpulkan. Kemudian, menyusul lagi 117 spesies yang dicatatkan van Hasselt. 

Dua minggu setelah turun gunung Pangrango, Kuhl sakit parah. Dia terkena diare, kemudian hepatitis. Selama dirawat di Buitenzorg, van Hasselt yang juga seorang ahli bedah terlatih, merawat Kuhl. Van Hasselt merasa terharu sekaligus ngeri dengan ketenangan dan ketenteraman pikiran Kuhl menjelang kematiannya yang akan segera datang. Empat minggu kemudian, Kuhl meninggal pada 14 September 1821, sekitar sembilan bulan setelah dia menginjakkan kaki pertama kali di pulau tropis di Jawa; impian yang dia idam-idamkan sedari kecilnya di Hanau.

Hancurlah hati van Hasselt. Sahabat seperjuangannya meninggal di depan matanya, pada sebuah tempat asing yang jauhnya enam bulan pelayaran berbahaya dari tanah kelahiran. Kembali, kita perlu memahami bahwa latar peristiwa ini terjadi pada awal abad-19 di mana kemajuan teknologi belum terwujud. Pergi merantau jauh dari keluarga saja sudah sedih, apalagi ditinggal mati oleh sahabat di perantauan! Van Hasselt tak bisa mengunggah Instagram Story lalu diberi reaksi peluk oleh para pengikutnya. Dia tak bisa mendatangi konselor atau psikolog. Dia tak bisa segera ke bandara lalu kurang dari 24 jam tiba di rumahnya di Eropa. Semua kemudahan ini nihil! Buku itu tidak menjabarkan detail apa reaksi van Hasselt selain kata “devastated” alias hancur. 

Yang van Hasselt lakukan selanjutnya adalah menulis surat. Kabar kematian sahabatnya ini dikirimkannya ke Belanda. Pada 22 Februari 1822, terbitlah obituari terkait kematian Kuhl dalam Provincale Groninger Courant. Ketika van Hasselt bisa mengendalikan kesedihannya, dia kembali terjun ke penelitiannya. Dia mau memenuhi janji kepada Kuhl untuk menyelesaikan studi bersama.

Akhir Agustus 1823, van Hasselt mendadak sakit parah dengan gejala demam dan diare. Saat itu dia dan rombongan sedang menjelajahi Bantam. Diputuskanlah untuk van Hasselt pulang ke Buitenzorg sesegera mungkin. Tapi, mengangkut orang sakit yang sudah tak berdaya dari hutan belantara sangatlah sulit. Ingat, tak ada ambulans apalagi helikopter saat itu! Jannes Theodorus Bik, seorang juru gambar yang ikut bersama van Hasselt setengah mati merawat Hasselt dalam sakitnya. Tapi, bukannya tambah baik, keadaan van Hasselt semakin buruk. 

Ketika akhirnya mereka berhasil tiba di Buitenzorg, dua hari kemudian van Hasselt meninggal dengan tenang, pada pagi hari di tanggal 8 September 1823. Sesuai dengan keinginannya, dia ingin diistirahatkan pada makam yang sama dengan sahabat karibnya, Kuhl. 

Kerkhof Kebun Raya Bogor. Sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan aku selalu menyambangi tempat ini.

***

Sampai di kisah ini saja aku sudah bisa merasakan rasa haru yang luar biasa. Dengan menempatkan diri pada pemahaman detail akan keadaan abad 19 awal, aku bisa menjawab pertanyaan dua temanku perihal orientasi seksual Kuhl dan van Hasselt: aku tidak tahu dan kurasa itu tidak penting! 

Mengapa perlu repot-repot mengimajinasikan suatu kisah sejarah dengan kisruh zaman modern?

Kubaca lebih lanjut buku ini. Lebih banyak lagi istilah-istilah ilmiah yang tertulis karena memang buku ini banyak mengenang tentang karya mereka sebagai seorang ahli Biologi yang berjasa bagi perkembangan pengetahuan. 

Selebihnya, kisah humaniora yang terangkat tak lain tak bukan adalah tentang persahabatannya. Tak ada unsur-unsur kasih erotis yang mewujud di sini… dan bila kurenungkan lebih lanjut: tidak ada yang aneh dari keinginan van Hasselt untuk beristirahat abadi bersama sahabatnya. Kuhl adalah satu-satunya orang yang berbagi waktu dengannya. Enam bulan pelayaran, sembilan bulan di tanah Jawa adalah durasi yang cukup untuk dua orang menjadi kenal dan menumbuhkan kasih.

Persahabatan adalah salah satu dari kisah manis peradaban umat manusia. Bagaimana dua orang asing yang tidak sedarah menjadi karib dan berbagi banyak momen hidup bersama. Orang asing, ini kata kunci. Maukah kamu mati demi orang asing yang sejatinya bukan siapa-siapamu? Orang tua mati demi anak, suami mati demi istri, dan sebagainya, adalah kisah heroik dan mudah kita terima karena mereka memiliki ikatan darah. Tapi, sekali lagi, bagaimana dengan orang yang pada sedianya adalah asing? 

Itulah manisnya kisah persahabatan. Maka, tak heranlah Sang Guru Agung yang hidup di tanah Palestina pada permulaan abad pertama bersabda demikian, “Kamu adalah sahabat-Ku… Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat…” (Yoh. 15:14-15). 

Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (ayat 13). 

Tabik! 

Gara, rekanku yang kukenal dari blog pada tahun 2017 lalu. Dia juga penikmat sejarah. Tetapi, kini seiring dengan tumbangnya para blogger, Gara ikut menutup blognya yang dulu dia namai dengan mencarijejak.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *