Badan itu jauh lebih kurus daripada yang pernah kulihat enam tahun lalu. Kulihat dari posisi dudukku, dia turun dari motornya, celingak-celinguk sedikit mencari di mana posisi dudukku di kedai ini. Kulihat jelas bagaimana lemak di pipinya telah menyusut. Pun urat-urat di lehernya tampak lebih jelas.
“Halo, kak Kev!” aku berdiri menyambutnya. Kami saling merangkul sejenak. Sedikit tak percaya karena akhirnya kami bisa bertemu.
“Ary, gimana kabarnya?” dia membalas rangkulanku dengan pertanyaan pembuka.
Aku tersenyum hangat. “Baik, kak! Aku senang bisa lihat kamu lagi.”
Kata senang bukan basa basi bagiku. Itu sungguh lahir dari hatiku karena sejak enam tahun ke belakang, aku kehilangan jejak Kak Kev alias Kevin. Dia adalah kakak tingkat di kampus yang tak cuma jadi senior secara akademis, tapi sungguh jadi kakak sungguhan bagiku. Ketika aku mencari magang di Jakarta, dia yang sibuk mengurusi akomodasiku. Di tengah kesibukan kerjanya, dia menjemputku di stasiun subuh-subuh, mengantarku ke kantor, cari kosan, hingga membiayai makanku. Dia juga sosok yang jenaka meskipun guyonannya garing dan tidak lucu, tapi justru itulah yang membuatnya menempati posisi istimewa di hati banyak adik-adiknya. Ketika aku lulus kuliah dan mendapat kerja di Jakarta, lagi-lagi aku minta bantuannya dan dia menolongku dengan senang hati.
Setahun sebelum pandemi merebak, kami bersama rekan-rekan satu komunitas bertemu untuk makan bersama. Di sana, Kak Kev membawa berita bahagia. “Doain ya, tahun depan aku married,” ujarnya yang segera disambut dengan cieee selamat dari semua yang hadir. Kami mengikuti perjalanan cinta Kak Kev dari unggahan-unggahannya di media sosial. Tidak semua cerita diunggahnya memang, tetapi kami bisa memahami bahwa ini adalah cinta yang serius.
Ketika pandemi akhirnya datang dan semua orang yang ingin menikah menjadikan ini kesempatan aji-mumpung untuk nikah hemat karena tak perlu undang orang untuk makan-makan, kami tak kunjung mendengar kelanjutan kabar dari Kak Kev. Hingga akhirnya, dia pun hilang bak ditelan bumi. Media sosialnya tak lagi aktif. Nomor WhatsAppnya ada tetapi tak pernah ada pesan yang dibalasnya. Satu per satu dari kami menyerah untuk mengontaknya. Pun tak ada yang tahu di mana keberadaannya.
Tahun-tahun belakangan, barulah kutahu kabar mengenai Kak Kev dari sepupunya yang kutemui saat aku memotret sesi pre-wedding. Katanya Kak Kev pindah ke kota lain dan relasi asmara yang dulu pernah diupayakannya telah kandas. Kabar ini membuatku sedih. Aku merasa kehilangan. Belum sempat aku membalas atau mengucap terima kasih, Kak Kev telah menyembunyikan dirinya dari siapa pun.
Namun, kuingat betul kalau suatu kali aku berdoa begini, “Tuhan, seandainya aku bisa ketemu Kak Kev, aku mau say thank you buat pertolongannya dulu.”
Doa itu dijawab! Pada tahun 2023, di bilangan Jakarta Selatan saat aku sedang memakan sate, tiba-tiba aku berjumpa dengan Kak Kev. Dia kaget, tak menyangka kalau di megapolitan yang luas ini akan menjumpai satu orang yang dikenalnya. Dia bersama temannya, demikian juga denganku. Aku hanya menyalaminya dan mengobrol sedikit. Dia bilang setelah ini dia akan balas WhatsAppku dan bersedia untuk ditemui.
***
Oktober 2024 ketika aku pergi untuk melakukan perjalanan sendirian ke luar Jawa, kujumpailah Kak Kev. Seperti kugambarkan di awal tulisan ini, aku sungguh melihat perubahan signifikan pada tubuhnya dan perangainya.
Tak lagi ada candaan garing terlontar dalam bicaranya. Aku juga tak ingin banyak mengungkit masa lalunya. Namun, aku sendiri pun sebenarnya dihantam permasalahan yang mirip-mirip dan kurasa aku sangat butuh perspektif dari Kak Kev yang telah lebih dulu melewatinya. Aku selalu gagal dalam urusan cinta, seberapa pun aku berusaha untuk mewujudkan harapan hidup berkeluarga. Ditambah lagi dengan lahir di keluarga yang broken dan kini merantau seorang diri, membuat kesepian sungguh terasa menusuk. Ketika rekan-rekan kantorku menghambur ke rumahnya setelah jam lima dan bertemu keluarga, aku tak menjumpai siapa pun. Aku hanya kembali pada sepetak kamar dengan dinding-dinding kakunya yang menjadi teman. Aku tak punya perasaan memiliki atau pun dimiliki oleh seseorang. Aku menyebut diriku soliter bila kata sebatang kara terasa terlalu miris.
“Kak, gimana kakak survive di masa-masa ini?” tanyaku pelan.
“Ya, dijalanin aja, Ry,” jawabnya serius. Matanya menatapku.
“Maksudnya?”
“Hmm…” dia menarik nafas panjang. “Nggak gampang memang, Ry. Ada masa-masa aku ngerasa mati itu pilihan yang menarik.” Aku tercenung. Tak kusangka sosok yang serohani Kak Kev pun rupanya pernah berpikir hal ini. “Tapi, aku mikir lagi, apa aku nggak malah bikin orang lain jadi repot? Kalau mati di kosan, nanti kosannya jadi berhantu dan nggak laku. Kalau mati di rel kereta, kasihan masinisnya dan orang yang mungut jenazahku.”
“Jadi…,” lanjutnya sambil menyeruput kopi. “Hidup dan matiku akan sama-sama nyusahin orang. Kalau bisa hidup, pilihlah buat hidup walau memang berat dan nggak enak.”
Aku tidak membalas. Kucerna pelan-pelan omongan itu. Kesepian mengakibatkan efek lain yang lebih mengerikan: perasaan terisolasi. Umumnya, ketika perasaan ini jadi begitu kuat, beragam pikiran buruk lebih mudah menghampiri. Bila tak ada orang yang dirasa mengharapkan eksistensiku, bukankah mati jadi pilihan yang rasanya paling nyaman? Atau, bila pun mati tak masuk dalam pikiran, bukankah banyak dosa terselubung kita lakukan dalam kondisi kesepian? Tak sedikit kujumpai teman-temanku yang dalam usia mudanya telah terjangkit aneka penyakit menular seksual.
Tetapi, seperti kata Kak Kev, meskipun terasa baik bagi kita, rupanya pilihan mati atau pilihan pintas lainnya yang kita buat sendiri sejatinya akan membawa sengsara dan sulit bagi pihak lain. Aku masih belum bisa membayangkan bila kematianku membawa tangis dan kutuk sekaligus.
“Nikmati rasa sepi itu, Ry. Itu cara kita berdamai dengan keadaan,” lanjut Kak Kev. Dia tunjukkan padaku sepeda motor barunya yang berplat lokal. “Ini aku beli baru. Aku memulai hidup baru di sini.” Ditunjuknya juga arah jalan tempat kosannya berada.
Pekerjaannya yang mapan telah dia tinggalkan di Jakarta. Nama dan segala identitas lamanya masih melekat, tetapi dia bawa ke tempat yang baru. Dia mengakui meskipun berat, inilah jalan yang membawanya pada hidup. Hidup yang sunyi, tak lagi dikenal oleh orang banyak, mimpi dan harapan yang mengerdil.
Aku tahu setiap orang pernah merasakan kesepian dan keterasingan pada level yang berbeda-beda. Bukan bagianku untuk menilai dan menghakimi. Bagiku sendiri, kesepian itu ibarat rasa sakit yang secara naluriah inginnya cepat-cepat kita hindari atau akhiri. Tapi, untuk sampai kepada tahap itu, cara yang pertama dan tak bisa diluputkan adalah dengan menghampirinya, merengkuhnya—ibarat mendatangi dokter dan menemukan titik sakitnya lalu bisa dipilih langkah penyembuhan.
Rasa sepiku dan juga sepi yang tak pernah terkatakan oleh teman-teman di luar sana adalah kesepian yang valid dan otentik. Apabila ada di antaramu yang juga merasa kesepian, mari kita kembali mundur, menapaki lagi titik-titik perjalanan yang mengarahkan kita pada luka dan perih yang pernah tertoreh.
Tidak nyaman memang, tetapi inilah langkah awal dari hidup yang kelak dapat berpulih.
Denpasar, Oktober 2024
Tinggalkan Balasan