MPO2888 -Tidak Jadi Kecewa

Juli 2024, aku membeli satu buah buku jurnal dengan kertas polos, tanpa garis atau pun titik-titik. Sampulnya gemas: bermotif kucing dan berbahan kain. Tapi, alasan utama membelinya bukan karena lucu, melainkan karena buku jurnalku yang ke-empat sudah hampir habis dan aku tidak menemukan pengganti yang cocok di toko buku depan kantor. 

Satu minggu setelah pembayaran, bukuku pun datang, dikirim dari Sleman. Ini buku ketiga yang kubeli di toko daring yang sama; buku kelima dalam perjalanan jurnalingku tujuh tahun ke belakang. Jumlah halamannya 224. Dengan font tulisanku yang kecil-kecil dan frekuensi menulis yang sering, aku berasumsi buku jurnal ini akan habis dalam waktu 6-7 bulan. 

Lembar demi lembar kuisikan catatan, semua terasa nyaman. Sampai masuk bulan kedua, rupanya lem perekat yang menjadikan buku tebal ini utuh mulai koyak. Aku mengakalinya dengan menempelkan lem super. Berhasil. Tidak ada masalah lanjutan.

Namun, dua hari lalu saat menggunakan buku jurnal ini untuk mencatat khotbah di gereja, rupanya lem super itu menyerah. Sisi belakang copot, merobek halaman akhir dengan kertas glossy. Bagian depannya juga ikut koyak. 

Kecewa. 

Aku langsung terpikir betapa tidak puasnya jika buku jurnal yang belum rampung sampai halaman terakhirnya ini harus kuganti dengan beli baru. Tapi, aku terpikir satu hal: bagaimana kalau robeknya ini aku infokan ke toko penjualnya? Bukan untuk komplain minta ganti rugi, karena aku sudah beli ini lebih dari tiga bulan lalu, tapi untuk tanya solusi apakah ada teknik yang tak kuketahui untuk merekatkan buku nyaris ambyar ini. 

Bagian belakang yang lemnya telah lepas

“Selamat malam Kak,” ketikku ke toko itu melalui pesan WhatsApp. “Tiga bulan lalu saya beli buku di sini, ini buku ke-sekian yang saya beli. Tapi, yang ini lemnya lepas..” 

Pesan itu dibalas dalam tiga jam. Tak kusangka, bukan tips cara mengelem atau penawaran produk baru yang lebih kokoh, tapi toko itu meminta maaf.

“Kak, maaf, sepertinya itu saat produksi kesalahan dari kami yang kurang baik waktu mengelem. Boleh minta alamat kakak untuk kami kirimkan buku baru?”

Seharusnya kecewaku tetap, karena ini bukan perkara dapat buku ganti atau tidak. Ini soal buku jurnal yang mungkin tidak bisa kuselesaikan sampai halaman terakhirnya. 

Tapi, seberkas sukacita terbit. Tanggapan yang akomodatif dari pihak toko membuatku sadar bahwa tidak masalah loh untuk menyampaikan suatu kendala atau keluhan bila dengan niatan hati yang baik. Kebetulan saja, toko ini punya tenggang rasa yang lebih besar daripada ekspektasiku. Aku tak tahu bagaimana responsku bila toko ini malah balik memarahiku. Yang paling mungkin yaa tulisan ini tidak akan terbit. 

Ada momen-momen lain dalam hidup ketika aku menjumpai kesalahan yang dilakukan temanku, aku memilih diam saja dengan dalih tidak ingin merusak relasi… atau lebih tepatnya, aku tidak ingin ribet. Tapi, bagaimana jika teman itu sesungguhnya tidak sadar sedang berbuat salah? 

Tiba pada pemahaman ini bukan berarti aku harus jadi orang yang cari-cari masalah, tetapi bila mataku melihat ada yang salah, aku bisa loh mengomunikasikannya dengan kerendahan hati agar tercipta kebaikan yang lebih besar. Bukan untuk bilang aku dirugikan, tapi untuk bertanya apa yang bisa dilakukan untuk menjadikan sesuatu lebih baik. 

Tabik! 

Buah dari goresan tangan yang menuntunku untuk mengenali diri, membekukan momen, mencerna setiap rasa yang dikecap oleh seluruh indera. Semuanya menolongku menikmati hidup masa kini dengan damai sejahtera.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *