Di atas feri yang menyeberangi selat sempit antara Ketapang dan Gilimanuk, aku menuntaskan satu buku digital yang kubaca dari tablet kecilku.
Di bab terakhirnya, aku menemukan bagian yang menarik. Untuk memudahkan kita mendefinisikan hidup yang luas dan kompleks ini, kita suka menggunakan metafora—kata-kata yang berbeda dengan arti sebenarnya untuk menunjukkan persamaan atau perbandingan. Salah satu metafora yang penulis sebutkan adalah, hidup ini seperti pertandingan; ada yang menang ada yang kalah.
Rasanya tak ada yang salah dengan metafora itu, bukan? Tapi, metafora semacam itu bisa menciptakan fatalisme. Menganggap hidup ini laksana pertandingan bisa membuat kita merasa selalu memiliki lawan dan menjadikan tiap momen seperti perlombaan, harus menang atau kalah. Tak ada celah di antara keduanya. Kalau tidak juara ya jadi pecundang! Karena itu, kita perlu bijak dalam memilih metafora yang kita pakai untuk memahami hidup.
Ada satu metafora yang menurut penulis cukup bijaksana untuk menggambarkan pergerakan hidup. Bukan pertandingan, medan perang, atau pun perjalanan. Metafora itu adalah musim!
Berikut kutipannya yang telah kuterjemahkan secara bebas:
“Aku rasa, musim adalah metafora yang bijak untuk menggambarkan perjalanan hidup. Ia menunjukkan bahwa hidup bukan sekadar medan perang atau permainan keberuntungan, melainkan sesuatu yang jauh lebih kaya, lebih menjanjikan, lebih nyata. Gagasan bahwa hidup kita seperti siklus musim yang terus berputar tidak meniadakan perjuangan atau kebahagiaan, kehilangan atau keberhasilan, kegelapan atau terang. Sebaliknya, ia mengajak kita untuk merangkul semuanya—dan menemukan dalam setiap bagiannya kesempatan untuk bertumbuh.”
“Musim,” aku bergumam dalam hati. Kumatikan layar tabletku. Kulihat di depan mataku tersaji pemandangan yang tak pernah bisa disuguhkan Jakarta: segara membiru dengan awan-awan bergumpal menghiasi angkasa, sebuah semenanjung dengan pasirnya yang putih dan lebat oleh pepohonan, sementara itu puluhan kapal hilir-mudik di antaranya. Aku beruntung, karena hari aku berlayar adalah hari yang cerah. Tapi, bila lautan sedang ngambek, Selat Bali yang lebarnya tak sampai 5km ini akan menolak diarungi. Kapal-kapal hanya bisa bersandar kalau tidak mau dikaramkan oleh angin dan ombak.

Aku bisa menangkap penuh maksud si penulis dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisiku.
Di Indonesia kita cuma punya dua musim: kemarau atau hujan, dan di dalam hari-hari di antara dua musim itu kita mengalami cuaca. Bisa hujan, cerah, mendung, atau berangin. Apakah bila hari ini hujan maka selamanya hujan? Tentu tidak. Saat menjemur baju lalu turun hujan, kita mungkin mengeluh, “yaahh hujan..”, tapi tidak lantas menjadikan kita putus asa lalu ingin mengakhiri hidup, kan? Karena kita tahu bahwa mungkin besok langit akan cerah dan baju kita akan kering. Atau, mungkin besoknya lagi. Tapi, kalau pun yang datang mendung dan cucian kita susah kering selama tiga hari, ada alternatif lain: membawa baju kita ke laundry! Selesai.
Memahami metafora ini membuatku tersenyum sepanjang sisa perjalananku menuju Denpasar. Seperti upaya menjemur baju, bila langit sedang hujan, yang bisa kita lakukan bukan memanggil pawang hujan atau segera ke BMKG untuk memodifikasi cuaca (bisa aja sih kalau punya uang!), tapi menyesuaikan diri dengan cuaca tersebut.
Bila hari ini langit hidupku sedang cerah, tentu aku bisa melihat banyak pemandangan, menyeberangi selat yang dalam, atau bahkan mendaki sampai ke puncak! Aku bisa mengerjakan lima tugas secara sekaligus dalam lima jam, mendengarkan curhatan temanku yang menguras energi dan emosi, membaca setengah buku, atau berolahraga sampai 21 set! Tapi, bila hariku mendung dan berangin badai, tentu sulit untuk mengarungi lautan ataupun mencapai puncak, bahkan aku bisa saja merisikokan hidupku bila bersikukuh melakukan keduanya! Jangankan mengerjakan tiga deadline, punya semangat untuk mengetik aja rasanya berat. Jangankan mendengarkan curhatan panjang lebar, membuka WA saja rasanya pusing. Jangankan berolahraga, naik tangga ke ruang kerja terasa beban!
Maksud dari metafora ini kurasa bukanlah tentang kita menjadi malas-malasan dan berpasrah diri begitu saja—bila badai dan hati tidak mood maka kita jadi tidak mau bekerja atau mengurung diri. Memahami hidup sebagai musim menolongku untuk menikmati setiap hari. Aku menjadikan hatiku siap dan nyaman menikmati apa pun yang terjadi. Bila cerah, aku bersorak di dalamnya. Bila mendung, aku menikmati kesyahduannya. Bila hujan, aku mengenakan mantel yang menjadikanku tidak basah.
Seperti musim dan cuaca yang selalu berganti tetapi bersiklus, demikianlah hidup. Saat cerah aku tidak jumawa karena tahu mendung bisa datang. Saat badai aku tidak berputus asa karena tahu awan kumulus akan berlalu berganti dengan siraman sinar mentari yang hangat.
“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam” (Pengkhotbah 3:1-2).
Gilimanuk, 26 Oktober 2024.
Tabik!
*Buku yang kuulas adalah: Let Your Life Speak: Listening for the Voice of Vocation karya Parker J. Palmer. Dipinjamkan oleh Pdt. Yesie Lie.
Tinggalkan Balasan