Di kantor, aku punya kebiasaan selepas jam makan siang memutar video statis di YouTube yang isinya hanya suara hewan-hewan di hutan atau deburan ombak di pantai.
Awal-awal terasa aneh, bagi mereka yang melintas di dekatku. “Kok ada suara kodok? Jangkrik?” kata mereka heran dengan mata memicing. Barulah setelah tahu itu dari komputerku, mereka berkata lega, “Ooohhhh…” dan melengos pergi lagi.
Mendengar suara alam selalu jadi terapi tersendiri buatku, yang sampai hari ini sebenarnya masih bermimpi untuk tidak bekerja kantoran. Masih menyala temaram anganku untuk menggeluti pekerjaan yang agendanya keluyuran ke sana ke mari seperti para reporter dari National Geographic, misalnya. Tapi, kusadar pula, meskipun memelihara mimpi itu baik, membuka mata dan menikmati apa yang ada pun tak kalah baik.
Maka, di tengah penatnya pekerjaan selama dua minggu terakhir, aku terbesit ide untuk naik ke puncak gunung. Aku ingat ada teman-temanku yang naik ke Puncak Upas, pucuk tertinggi dari Gunung Tangkubanparahu di elevasi 2.084 meter. Tidak tinggi-tinggi amat kalau dibandingkan dengan atap-atap lain di Pulau Jawa. Tapi, aku kan bukan ingin menaklukkan gunung. Cuma mau menikmatinya. Jadi, di ketinggian berapa pun, tak jadi soal.
Aku tak ingin naik sendirian. Muncullah satu nama dengan cepat, “Joshua”. Dia adalah teman sekolahku sejak SMP. Anak sulung tulen, karakternya keras dan reformis. Aku mengajaknya karena kutahu dia sosok petualang dan seingatku dia sudah pernah naik ke Puncak Upas.
“Cuy,” ketikku di WhatsApp. “Naek ke Upas yuk nanti Sabtu?”
“Hayu!” dia membalas tanpa tedeng aling-aling dan dengan cepat, kurang dari sepuluh menit. “Mau ajak siapa aja?” tambahnya.
Kami mengumumkan rencana ini ke grup, tetapi tak ada yang bisa—entah terlalu impulsif, atau ide trekking ini memang tak lagi ramah buat kaum-kaum usia 30+. Kami tetap berangkat. Aku, Joshua, dan dia mengajak Nesha, pacarnya yang telah dilamarnya.
***
Puncak Upas adalah spot cantik untuk menikmati gunung Tangkubanparahu dari perspektif lain. Bila kita melewati jalur utama yang beraspal, tanpa perlu mendaki dan ngos-ngosan pun kita sudah bisa tiba persis di depan kawah ratu, kaldera utama. Terlalu mainstream! Kawah Ratu bukanlah titik tertinggi. Elevasinya masih di 1.830 meter. Di atas kaldera, ada tebing dengan pepohonan lebat menjulang. Itulah titik tertingginya, Puncak Upas.
Ada dua jalur untuk sampai ke Upas: trek 11 atau Lorong Lumut. Kata Joshua, trek sebelas bikin kaki pedas karena jalannya berbatu-batu, didesain khusus untuk motor trail. Dia mengusulkan agar kami lewat Lorong Lumut. Lebih pendek dan seru, katanya.


Kami mendaki tepat di hari pertama Ramadhan. Hanya segelintir yang naik: kami bertiga, serta satu rombongan keluarga berisi 4 orang dari Tangerang. Sebenarnya, ada dua orang lain yang juga ingin ikut mendaki, sepasang suami-isteri dari Bogor. Kami bertemu mereka di area parkir. Tapi, mereka urung naik karena tak pakai sepatu yang proper.
Untunglah mereka tidak ikut, sebab sejak lepas dari Pos 1 dan lorong lumut, trek yang masih landai pun sudah menjelma jadi kubangan lumpur. Aku sempat kaget tapi puas ketika sepatu trekkingku amblas ke dalam lumpur setinggi mata kaki. Akhirnya sepatu ini berguna pada fungsinya. Untuk trekking di alam, bukan untuk menembus becek dan amisnya aspal Pasar Cengkareng.
Lepas dari pos 3 jalur trek semula datar menjadi lebih vertikal. Dengkul kami bertemu dada. Keringat mulai deras mengucur. Napas lebih tersengal. Joshua dan Nesha yang sebelumnya sudah pernah mendaki melewati jalur ini dan Trek 11 membawa persiapan yang lebih matang. Mereka bawa trekking pole, sedangkan aku hanya bawa diri.
Joshua menyodorkan tongkatnya buatku, kutolak halus. “Ini mah gua masih bisa,” kataku tegas. Aku tidak sedang sembrono. Telah satu bulan aku kembali rutin gym dan melakukan leg day, sehingga perjalanan muncak hari ini tidak terasa memberatkan.
“Say….” pekik Nesha. “Berenti dulu lima menit atuh.”
“Halah, masa udah gak kuat?” timpal Joshua. Bila tidak kenal dengan erat, mungkin responsnya terasa kurang empatik. Masa tunangannya capek malah dicibir. Tapi, itulah gaya komunikasinya yang lugas dan agak-agak militeristik.
Nesha pun tidak merasa tanggapan itu sebagai demotivasi. Dengan santai dia membalas, “Ya kalian lelaki itu tinggi, jadi langkahnya panjang.”
“Oh iya, Nesha kan pendek ya!” celetuk Joshua.
Kami lalu tertawa terbahak. “Anjir,” kataku. “Enteng banget ya ngomong begitu ke Nesha.” Tinggi badanku dan Joshua berkisar 170cm, sedangkan Nesha bila kulihat dia berdiri, jangkungnya tak lebih tinggi dari dagu Joshua. Guyonan yang agak gelap ini membuat momen istirahat malah jadi lebih eungap karena tertawa.

Bagiku, Joshua dan Nesha adalah pasangan panutan. Kisah cinta mereka lebih banyak diliputi jalan terjal dan soal kepribadian antara keduanya bak bumi dan langit. Joshua yang kukenal sejak 19 tahun lalu adalah sosok anak sulung yang reformis. Bila ada aturan yang menurutnya tidak masuk akal, dengan lantang dia akan bersuara. Pernah suatu kali aku kaget setengah mati karena dia pasang tindik, padahal status profesinya adalah guru.
“Gila,” kataku ringkas. Dia meresponsku dengan tertawa. “Memangnya kelakuan baik dan skill ditentuin dari tindikan, gitu?”
“Ya ga juga sih,” aku membalasnya sambil geleng-geleng lalu mengoceh lebih panjang tentang apa manfaat aturan bagi harmoni sosial.
Tiap pertemuan kami selalu diisi dengan diskusi panjang tentang dua perspektif yang berbeda. Antara Joshua si reformis dengan aku si pragmatis.
Nah, Nesha, sang tunangannya adalah anak bungsu dan lembut hati. Aku sempat membatin apakah dia tidak makan hati setiap hari ya bila berpasangan dengan Joshua. Tapi, di sinilah kulihat kembali misteri hidup yang mewujud dalam rupa cinta. Yang di mata manusia tampak seperti tidak cocok rupanya bukanlah mutlak menentukan realita. Kutub magnet yang sama bila didekatkan akan saling menolak, sedangkan bila berbeda, barulah mereka akan saling tarik menarik.
Jam pintarku telah merekam durasi selama 2 jam 10 menit. Kami telah tiba di pos enam. Jalur dengkul bertemu dada telah selesai. Di depan kami terbentang jalan setapak yang landai dengan ranting-ranting lebat menjadi atapnya. Aroma belerang sudah lebih kuat tercium. Vegetasi masih banyak dipenuhi pohon-pohon khas hutan hujan tropis: damar, meranti, paku-pakuan… dan yang paling kusukai akhirnya muncul saat jalur setapak bersandingan dengan bibir kawah: cantigi!
Kami tiba di Puncak Upas sepuluh menit sebelum jam 12 tepat. Kabut tipis merayap turun, muncul lalu lenyap kembali. Begitu berulang-ulang.
Lelahku pun lepas. Puncak Upas menyajikan pemandangan yang menyenangkan hati. Kaldera utama, Kawah Ratu, terlihat bagaikan kolam putih di kejauhan. Di bawah kami, kawah Upas yang menjadi nama dari puncak ini tersaji bagaikan kolam susu. Ada genangan air yang menutupi dasarnya. Antara Ratu dan Upas terpisah oleh segaris tebing landai. Dulu garis tebing itu bisa kita masuki dari kawah Ratu tapi sekarang ditutup. Alasannya: beda administrasi antara lahan swasta dan perhutani.
“Cu, ini makan,” Joshua menyodorkan satu kotak berisi sayur rebus dan daging teriyaki.
Aku menolak. Kubilang aku sudah bawa pie mekdi. Biarkan dua kotak itu dikonsumsi untuk dia dan Nesha.
“Wah, Ary gak kasihan Josh bangun subuh buat masak ini?” celetuk Nesha.
“Ini makanlah dulu, bagi dua,” sambung Joshua.
Aku mengalah. Kuambil kotak makanan itu. Kami makan dengan lahap, mengisi kembali bahan bakar untuk perjalanan pulang yang masih panjang. Sesuai janjiku karena aku sudah punya pie, makanan itu kusantap setengah dan kuberikan lagi kepada Joshua.
Sambil memandangi kawah dengan kabut tipis yang menjalar turun, aku menyadari bahwa aku sungguh beruntung. Perjalanan hidupku dikaruniai teman-teman yang membawaku sampai ke puncak. Joshua adalah salah satunya.
Selain aku dan Joshua, terdapat empat orang lainnya dalam sirkel pertemanan kami: Riky, David, Andarias, dan Willi. Secara karakter, hobi, kota tempat tinggal, dan pekerjaan, kami saling berbeda. Namun, kami berbagi masa lalu yang sama: masa-masa sekolah dan keluguan yang rupanya tak cuma jadi nostalgia, tapi suatu kesadaran yang mengikat. Bila dulu kami pernah bersama dan jadi teman, sekarang pun kami tetap bisa jadi teman. Bukan untuk selalu bersama, tapi untuk mendukung di kala yang terburuk terjadi, untuk bersorak di kala yang membahagiakan terjadi, dan untuk tetap ada di kala hidup berjalan monoton begitu-begitu saja.
Bila teman-temanku di Jakarta umumnya berpisah dunia setelah masing-masing memiliki pacar, pertemananku dengan Joshua dan sekitarnya tetap lestari. Pasangan mereka masing-masing menjadi teman kami juga. Kami tak pernah mendengar komentar ataupun keluhan yang berkata kalau si anu jadi bucin atau jadi lupa teman. Pasangan mereka justru menjadikan pertemanan kami lebih lengkap dan kompak, sebagaimana yang Joshua lakukan hari ini, membawa serta tunangannya sampai ke Puncak Upas.
Inilah lingkaran pertemanan yang sungguh aku syukuri dan banggakan dalam hati. Ketika usia dewasa memaksa kita untuk berjuang dengan soliter, ada teman-teman yang setia berjalan bersama kita sampai ke puncak.
Puncak Upas, 2.084m dpl
1 Maret 2025
Tabik!

Tinggalkan Balasan